TULISAN 2 : ETIKA DALAM PEMASARAN
Etika Dalam Pemasaran
Segala aktivitas pemasaran dan promosi kerap terkesan bombastis dan hiperbola. Memang tak bisa disalahkan juga karena kini persaingan kian ramai dan sengit. Tapi biar bagaimana pun, pasar yang akan menilai mana aktivitas pemasaran yang baik dan mana yang buruk. Konsumen masih menghargai pemasaran, promosi, dan aktivitas beriklanyang beretika.
Segala aktivitas pemasaran dan promosi kerap terkesan bombastis dan hiperbola. Memang tak bisa disalahkan juga karena kini persaingan kian ramai dan sengit. Tapi biar bagaimana pun, pasar yang akan menilai mana aktivitas pemasaran yang baik dan mana yang buruk. Konsumen masih menghargai pemasaran, promosi, dan aktivitas beriklanyang beretika.
Promosi yang menyangkut etika pemasaran memang masih
terkesan abstrak di Indonesia. Tanpa menyinggung merek tertentu, kita kerap
menemukan aktivitas promosi atau pemasaran yang menyudutkan pihak lain,
memonopoli pihak tertentu, merugikan pihak lain, dan bahkan melanggar norma
atau hukum.
Tidak mudah memang
mendefinisikan praktik pemasaran yang etis atau tidak etis (marketing ethics). Pada akhirnya, para marketer mesti
bersandar pada sistem nilai masyarakat untuk menentukan apa itu etika. Sistem
nilai tersebut harus mengakui hak konsumen terhadap keamanan, informasi yang
komplit, dan value yang sesuai dengan
harga yang mereka bayarkan.
Salah satu patokan untuk melakukan pemasaran yang
beretika bisa merujuk kepada kode etik yang dibuat oleh American Marketing
Association (AMA). Cuplikannya berbunyi sebagai berikut: “Pemasar harus
menegakkan dan mengedepankan integritas, kehormatan, dan martabat profesi
marketing dengan cara jujur dalam melayani konsumen, klien, pegawai, penmasok,
distributor, dan masyarakat.“
Meskipun dianggap bisa membantu dalam menyoroti
masalah-masalah etika, ternyata kode etik AMA tersebut belum cukup
lengkap untuk dijadikan panduan etika pemasaran. Soalnya, masih banyak sekali
persoalan yang tidak tercakup di dalamnya.
AMA sendiri berkomitmen untuk terus mempromosikan standar
tertinggi untuk norma-norma dan nilai-nilai yang bisa menjadi rujukan bagi para
anggotanya (misalnya para praktisi, akademisi, dan pengamat). Segala aturan dan
standar tersebut diharapkan bisa mempertahankan praktik pemasaran yang beretika
dalam masyarakat mana pun. Tentunya ini harus didukung oleh semua perusahaan
dan institusi yang terlibat dalam aktivitas pemasaran.
Suatu nilai bisa diterima
dengan baik jika bisa dihargai oleh pasar. Sebagai seorang pemasar, kita harus
menyadari bahwa kita tidak hanya melayani perusahaan tempat kita bekerja saja,
tapi juga melayani sekaligus bertanggungjawab terhadap masyarakat dimana kita
berada, dan bahkan masyarakat lain yang tidak secara langsung termasuk dalam
lingkup pasar kita. Dalam hal ini para pemasar dituntut untuk bisa
mempertanggungjawabkan segala aktivitas pemasaran, berpromosi, dan beriklan
yang dilakukan terhadap stakeholder-nya
(misalnya karyawan, investor, mitra, regulator, konsumen, serta komunitas).
Sebenarnya faktor etika yang terdapat didalam AMA itu
sederhana saja. Norma-norma etika sebagai pemasar yang dasar adalah kita
sebagai marketer tidak boleh melakukan praktik yang merugikan pihak lain. Ini
berarti komitmen untuk secara konsisten menghindari segala tindakan yang
merugikan baik secara moril maupun materiil.
Selain itu para pemasar
juga harus bisa menanamkan faktor kepercayaan dalam sistem pemasaran yang
dilancarkan perusahaan. Ini berarti berusaha secara jujur dan membuat
perjanjian yang seadil-adilnya dengan semua pihak, supaya bisa memberikan
kontribusi yang bebas dari faktor penipuan dalam hal desain produk,
strategi pricing, komunikasi, dan distribusi.
Perusahaan bisa mempertahankan nilai-nilai yang
menjunjung tinggi etika supaya bisa mendapatkan kepercayaan dari pihak
pelanggan karena perusahaan selalu mempertahankan integritas berpromosi dan
beriklan yang baik dalam hal kejujuran, tanggungjawab, keadilan, saling
menghargai, dan bersifat transparan (tidak ada informasi yang sifatnya
merugikan pihak lain yang disembunyikan).
Dalam Hal Kejujuran
Perusahaan harus bisa
berlaku jujur dalam setiap perjanjian atau transaksi yang terjadi dengan pelanggan
maupun stakeholder, dalam situasi apapun. Perusahaan
menyebarkan informasi yang apa adanya dalam mengomunikasikan produk atau
jasanya. Selain itu perusahaan juga harus menepati segala janji / promise yang sudah dilontarkan kepada pasar
dan stakeholder.
Dalam Hal Tanggungjawab
Perusahaan harus bisa
menerima segala konsekwensi yang timbul akibat segala tindakan pemasaran yang
ditempuh. Dalam hal ini perusahaan harus mampu memenuhi kebutuhan pelanggan,
serta menghindari segala bentuk pemaksaan kepada pelanggan dan stakeholder. Perusahaan harus bisa komitmen
menerapkan segala aturan terutama menyangkut segmen-segmen pasar yang tergolong
rentan, seperti anak-anak, orang tua (pensiunan), kaum cacat, dan lain-lain.
Selain itu perusahaan juga harus bertanggungjawab terhadap kelestarian
lingkungan dalam lingkup pemasarannya.
Dalam Hal Keadilan
Perusahaan diharapkan bisa adil dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan sekaligus memenuhi kualifikasi dari para pihak pemasoknya. Ini
termasuk menawarkan produk dengan cara atau metode yang jelas dalam bentuk
penjualan, promosi, dan bentuk komunikasi lain. Perusahaan harus menghindari
segala macam informasi yang bersifat menyesatkan dan menipu. Perusahaan harus
melindungi segala data atau informasi yang sifatnya rahasia bagi konsumen,
pemasok, dan karyawan, agar tidak disalahgunakan. Selain itu perusahaan juga
harus adil dalam menetapkan harga produknya dan menghindari segala tindakan
yang bisa merusak harga atau kondisi pasar.
Dalam Hal Transparansi
Perusahaan harus mempertahankan
sifat keterbukaan kepada pasar dan stakeholder mengenai
aktivitas pemasaran. Untuk ini diharapkan perusahaan bisa mempertahankan
kelancaran aliran informasi dan berkomunikasi secara teratur kepada stakeholder. Perusahaan juga harus bisa menerima
segala kritik dan saran yang dilontarkan oleh pasar, serta melakukan perbaikan
jika diperlukan. Selain itu perusahaan juga diharap bisa menjelaskan dengan
transparan segala risiko dan komponen substitusi menyangkut produk atau jasa
yang ditawarkan.
Demikian itu hanyalah
sebagian dari banyak aturan nilai, dan norma yang menyangkut etika pemasaran
dari AMA. Sebenarnya cara yang paling sederhana untuk menguji etika dari suatu
strategi pemasaran adalah dengan menerapkan konsep “jika ragu, jangan lakukan”
(when it doubt, don’t). Bisa juga dengan
menetapkan Golden Rule: “Perlakukanlah
konsumen seperti layaknya Anda memperlakukan diri sendiri”.
Praktik pemasaran, berpromosi, dan beriklan dengan
memperhatikan etika ini bisa membantu para pemasar agar bisa menjadi lebih
bertanggungjawab secara sosial. Dengan demikian, para marketer bisa merasa
bangga dengan bidang yang mereka geluti.
Memang masih banyak pihak
yang meragukan apakah perusahaan yang mengindahkan etika dan punya
tanggungjawab, bisa menjadi perusahaan yang lebih profitable? Jawabannya tentu bisa ya, bisa juga tidak.
Tapi kecenderungan saat ini perusahaan yang peduli dengan etika lebih terhindar
dari segala macam kejadian yang merugikan perusahaan itu sendiri. Plus dengan
terus meningkatnya perhatian publik terhadap etika, bukannya tak mungkin
nantinya konsumen lebih memilih perusahaan yang punya etika ketimbang yang
tidak.
Lagipula, perusahaan yang mengabaikan etika sebenarnya
menanggung risiko yang tidak kecil. Liat saja dari beberapa kasus yang terjadi
belakangan ini tanpa menyebut merek, dimana timbul suatu protes keras
dari masyarakat, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan bisa jadi sangat
besar. Kerugian dari bentuk promosi yang tidak etis, misalnya, bukan cuma
risiko untuk menarik iklan yang sudah dibuat dengan biaya tinggi itu saja.
Selain meminta maaf kepada publik, kadang perusahaan harus mengucurkan
biaya ganti rugi yang jumlahnya jutaan atau miliaran rupiah. Belum lagi
kerugian berupa citra perusahaan yang sudah tercoreng di mata masyarakat.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar